DALAM tradisi historiografi di Indonesia akan sulit ditemukan cerita tentang sesuatu “yang tidak ada”, “suatu yang tidak berwujud” atau gaib. Padahal, sesuatu “yang tidak berwujud” itu, di dalam suatu kurun waktu tertentu juga menjadi bagian dari proses sejarah. Hal ini dapat dilihat dalam konteks tuyul atau makhluk-makhluk gaib lainnya yang secara sosio-kultural menjadi bagian dari masa lalu dan berkaitan dengan persoalan ekonomi, bahkan terus hidup dalam masyarakat Indonesia. Tetapi karena tuyul dan makhluk-makhluk gaib itu dianggap “tidak ada” atau “tidak nyata wujudnya” dan dokumen-dokumen juga tidak menyatakan keberadaannya, maka dianggap tidak ada sejarah yang perlu dikaitkan dengan hal itu (Bambang, dalam kuliah Kapita Selekta program pascasarjana UGM dan Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!: 44).
Orang baru menyadari bahwa “yang tidak ada” dan “tidak nyata” itu juga bagian dari sejarah Indonesia sejak Peter Boomgaard menulis hubungan antara tuyul dan makhluk gaib lainnya dalam perubahan ekonomi di Jawa pada masa Kolonial (Bambang, Gagalnya…: 44). Tentu saja Boomgaard dalam tulisannya, yang akan dibahas berikut ini, bukan bertujuan untuk membuktikan bahwa makhluk-makhluk gaib itu ada dan nyata—ada atau tidaknya kahluk-makhluk tersebut tidaklah penting—melainkan menunjukkan bahwa makhluk-makhluk itu hadir dalam mentalitas (ekonomi) masyarakat Jawa pada masa kolonial.
Boomgaard memulai karangannya, Illicit riches: Economic development and changing attitudes toward money and wealth as reflected in Javanese popular belief, dengan menjelaskan tuyul. Tuyul terlihat seperti seorang anak kecil, berusia tiga atau empat tahun, pendek, berkulit gelap, dan sangat kotor oleh karena memiliki hidung yang selalu ingusan. Tuyul suka dimanjakan; jika tidak, ia akan marah. Sebagai aturan, pemilik tuyul akan melakukan apapun semampunya untuk menghindari hal ini, karena jika si tuyul marah ia menolak untuk pergi mencuri. Dan mencuri—tanpa terdeteksi—adalah suatu keharusan bagi tuyul untuk membuat pemiliknya kaya. Kadang-kadang sang pemilik membawa tuyulnya di kerumunan, seperti di pasar besar atau tempat belanja lainnya, lalu membawanya pulang dengan uang hasil curian tuyul di sana. Tuyul tidak bisa dilihat siapa pun kecuali pemiliknya sendiri dan ahli supranatural seperti seorang dukun. Barang siapa yang ingin memiliki tuyul, ia harus pergi ke dukun, yang “berilmu hitam”, yang bisa membuat kontrak dengan dengan setan.
Pemilik tuyul harus membayar sesuatu untuk permintaannya menjadi kaya secara tiba-tiba dan terlarang. Bagi mereka yang menikmati kekayaan ini diharuskan untuk mengorbankan manusia (biasanya anggota keluarga keluraga atau pelayan) secara teratur, dan kematian mereka sendiri juga akan cepat dan/atau mengerikan. Tuyul juga harus disusui oleh seorang perempuan, meskipun menyakitkan dan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu.
Tuyul bukanlah hantu yang telah ada sejak begitu lama. Paling tidak, dia tidak tampak dalam literatur sebelum 1929, ketika ia digambarkan dengan singkat oleh Drewes. Dia tidak bisa ditemukan dalam ikhtisar klasik tentang hantu yang ditulis oleh Hien. Ia juga tidak hadir dalam karangan serupa yang lebih lengkap yang ditulis oleh Supatmo, yang bisa dihargai sebagai ikhtisar terbaik tentang hantu di bawah pemerintahan kolonial.
Tuyul banyak ditemukan Clifford Geertz ketika ia melakukan studi lapangan di Modjokuto, selama 1952-1954. Sepanjang pengetahuan Boomgard, Geertz adalah sarjana pertama yang mendeskripsikan tuyul secara panjang dan rinci, aktivitasnya, macam-macam orang yang menjadi pemiliknya, serta cara untuk memperolehnya. Tentu saja tuyul tidak “ditemukan”, baik oleh Geertz maupun oleh Drewes, tetapi mungkin lebih aman jika kita mengatakan bahwa sebelum 1929 tuyul sungguh merupakan cerita yang sangat minor (Boomgaard, Illicit…: 197-98).
Sebelum Boomgaard, sebenarnya telah ada yang menulis tema serupa, yaitu G. Quinn dan Michael Taussig. Akan tetapi Boomgaard memiliki perbedaan dengan kedua penulis tersebut. Quinn tampaknya berpikir bahwa cerita-cerita tuyul merefleksikan keadaan masyarakat Jawa. Menurut Quinn, masyarakat Jawa menggunakan cerita-cerita itu sebagai pembenaran atas ‘pemenuhan-diri tanpa uang’ dan dengan demikian juga untuk menghakimi ‘perdagangan berbasis-uang’ secara negatif. Sedangkan Taussig melihat cerita-cerita orang Kolumbia tentang kontrak dengan setan dan ‘babtized money’ sebagai respon terhadap penetrasi kapitalisme modern dengan hubungan impersonalnya dan ‘komoditas fetisisme’, bukan terhadap uang dan perdagangan.
Marilah kita melihat argumen Quinn terlebih dahulu. Meskipun kapitalisme modern terlambat tiba di Jawa, menurut Boomgaard, kita tidak seharusnya berasumsi bahwa masyarakat ini sebelumnya tidak mengenal uang dan bahwa perdagangan adalah fenomena marjinal. Koin perak dan emas pribumi telah digunakan pada awal abad ke-18, dan koin tembaga Cina telah beredar jauh lebih dahulu pada abad ke-13. Bahkan, penemuan arkeologis menunjukkan bahwa pada masa pembangunan keraton Ratu Boko, di Yogyakarta, telah dikenal mata uang emas dari Gujarat yang bergambar Raja Candra Gupta II—yang berkuasa antara 380-415—dan burung garuda dan Dewi Laksmi (Helisu Sjamsuddin, Metodologi Sejarah: 249). Menurut Anthoni Reid (Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1480-1680: 1-2), Jawa adalah bagian penting dari “zaman perdagangan”. Di Jawa, pada masa itu, bahkan telah muncul kota-kota pusat perdagangan seperti Banten, Jepara, Gresik, dan, kemudian, Batavia. Melalui jaringan pasar pedesaan, gerak perdagangan ini sampai ke lingkungan dusun. Sebagian perdagangan lokal dilakukan dengan barter, tetapi tetapi pertukaran komoditas dengan uang juga dipastikan telah ada. Pada abad ke-16 koin perak dan emas Spanyol dan Portugis beredar luas, dan pada abad ke-17 disusul dengan uang perak Belanda. Selama abad ke-18 uang (doits, duiten) Belanda semakin mempenetrasi area pedesaan Jawa.
Sekitar 1800, banyak transaksi dan pajak telah diuangkan. Pekerja-pekerja pribumi di wilayah Jawa juga telah dibayar dengan uang. Barter masih ada tetapi hanya terjadi di wilayah-wilayah yang jauh tidak terjangkau dan di wilayah pegunungan yang sulit diakses. Selama tanam paksa, koin tembaga Belanda telah menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah (Boomgaard, Illicit…: 197-99).
Dengan bukti-bukti itu, masih bisakah kita, dengan segala kejujuran, mengatakan bahwa masyarakat ini masih didasari oleh ‘pemenuhan-diri tanpa uang’? barangkali tidak. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan bahwa cerita tuyul menjadi populer karena transaksi dan perdagangan moneter adalah hal baru dalam masyarakat ini.
Taussig lebih berhati-hati daripada Quinn. Ia membedakan kapitalisme modern di satu pihak dan uang dan perdagangan di lain pihak. Selama studi lapangannya di Lembah Cauca, Kolumbia, sekitar 1970, Taussig menemukan cerita ‘mistisisme rakyat’ tentang hantu pengumpul uang yang serupa dengan yang di Jawa. Rumor tentang kontrak dengan setan itu beredar di kalangan pekerja perkebunan tebu. Bagi Taussig, perkebunan tebu merepresentasikan hubungan impersonal, relasi produksi kapitalis modern. Perkebunan datang di utara Lembah Cauca antara dua perang dunia dan dengan cepat meluas ke daerah-daerah sekitarnya. Jadi, ketika Taussig mendegar cerita ini, perkebunan telah berada di sana selama kurang dari limapuluh tahun. Jika Taussig benar dalam berasumsi bahwa cerita-cerita ini berkaitan dengan pembangunan kapitalis modern, dia harus memberi bukti bahwa cerita ini tidak lebih tua dari pada perkebunan itu. Tetapi dia gagal membuktikannya.
Karena dirinya tidak melakukan studi tentang dongeng rakyat Kolumbia, Boomgaard tidak dalam posisi untuk mengatakan apakah cerita ini ‘baru’, ‘lama’, atau merupakan adaptasi dari cerita ‘lama’. Menurut pendapatnya, pernyataan Taussig itu hanyalah jalan untuk melakukan studi yang lebih serius tentang perubahan mentalitas dalam masyarakat berhadapan dengan penetrasi perlahan-lahan kapitalisme modern (Boomgaard, Illicit…: 199-200).
Tuyul mungkin hampir belum dikenal sebelum 1929, tetapi hantu-pencuri-uang lain tidak. Setan gundul, atau hanya gundul, adalah contoh yang baik. Boomgaard menemukanya pertama kali disebutkan dalam suatu sumber yang bertahun 1860. Seperti tuyul, gundul mencuri uang untuk tuannya tanpa bisa ketahuan korbannya. Dia bisa dibeli dari dukun spesialis. Dia harus diberi ruangan khusus yang hanya boleh diakses oleh tuannya. Jika si pemilik merawatnya dengan baik, gundul akan mengganjarnya dengan kekayaan, dan melindunginya dan rumahnya dari musuh-musuh.
Deskripsi mengenai gundul muncul pada 1894. Dia tampak sebagai anak kecil yang telanjang, empat sampai lima tahun, kepalanya gundul, seperti normalnya anak laki-laki Jawa. Ia adalah pengirim kekayaan, tetapi ia juga menjaga tuannya dari hal-hal yang gaib yang tidak diinginkan. Gundul bisa dikontrak selama satu periode tujuh tahun, setelah itu sang pemilik akan menerima siksaan abadi di neraka. Hal yang mengerikan ini bisa di tunda dua kali tujuh tahun, jika si pemilik sanggup dan mau mengorbankan orang lain sebagai pengganti. Bila sang pemilik bersedia menerima kekayaan yang sedang-sedang saja, ia hanya perlu mengorbankan binatang, misalnya kerbau, tetapi gundul kemudian harus di beri kacang hijau setiap hari dan disusui ketika sang pemilik mempunyai bayi. Gundul sebagai hantu jahat menghilang entah kemana pada 1930-1940-an, dan hanya bertahan sebagai pengusik yang tak berbahaya. Ini adalah periode ketika tuyul memulai kariernya.
Selama masa depresi dan Perang Dunia Kedua, kapitalis modern di Jawa terpukul sangat keras, dan kesempatan untuk mendapatkan gaji besar di semua sektor menghilang. “Nasib baik” yang telah dimiliki sebelum 1930-an meleleh habis, dan kesempatan untuk menjadi kaya dengan cepat menjadi sangat jarang. Cerita gundul tidak berhasil dalam atmosfir ini. Setelah 1940-an, ketika ekonomi mulai tumbuh dengan cepat dan kesempatan baru mulai muncul, orang-orang memerlukan hantu ‘baru’ untuk menjelaskan kaya mendadak. Tuyul yang telah ada sebagai hantu (lokal?) yang tidak terkenal, terbukti menjadi bejana yang sempurna (Boomgaard, Illicit…: 201).
Cerita itu belum seluruhnya. Foklor orang-orang Indonesia menggambarkan banyak setan lain yang bisa menganugerahkan kekayaan. Baik ama menthek—setan penghancur panen padi pada cerita lama atau hantu pencuri padi untuk majikannya pada cerita yang kemudian—yang juga termasuk kategori setan anak kecil, maupun hantu dalam kategori hewan-hewan. Kategori hewan-hewan masih perlu di pecah lagi menjadi dua sub-kategori berikut.
Pertama, Makhluk halus yang berwujud binatang. Kategori ini sangatlah rumit. Harta karun, baik yang alami maupun “ciptaan manusia”, tersembunyi di dalam bumi. Oleh karena itu, makhluk halus ini, yang tinggal di tanah dan di dalam air, tahu di mana harus menemukan harta karun. Emas, perak dan berlian adalan simpanan alam, meskipun di mata orang Indonesia simpanan ini dihuni atau di jaga oleh makhluk supranatural. Tetapi juga harta karun “buatan manusia”. Di Jawa, juga di banyak tempat di Asia, terdapat “kegemaran untuk menimbun” baik emas, perak, berlian, maupun uang di sumur atau di tempat-tempat lainnya yang sukar dan sukar diketahui orang. Salah satu alasan penimbunan ini adalah kecemburuan dan, oleh karena itu, mereka akan takut jika diketahui oleh tetangganya berapa kekayaanya. Sir Thomas Stamford Raffles mengatakan bahwa orang-orang Jawa “iri dan dengki pada orang lain yang sukses”. Tetapi orang-orang Jawa tidak hanya khawatir pada “manusia-manusia pencemburu”, mereka juga khawatir pada “makhluk halus pencemburu”, atau “makhluk halus suruan manusia pencemburu”. Oleh karena itu mereka juga menimbun makhluk halus bersama harta karunnya, untuk melindungi harta karun itu dari makhluk hidup maupun makhluk halus. Bukan hanya agar harta karun itu tidak dicuri, melainkan juga agar mereka tidak dituduh sebagai pemilik tuyul dan sejenisnya.
Contoh dari makhluk halus dalam kategori ini adalah blorong, yang mengalami transformasi jender. Pada literatur lama yang ditemukan Boomgaard (1855-1875), blorong adalah laki-laki: Kyai Blorong; selama masa transisi (1879-1924) ditemukan baik Kyai dan Nyai Blorong; dan setelah 1929 ia telah sepenuhnya dikenal sebagai Nyai atau Nyi. Blorong adalah ular berkepala manusia—kadang-kadang berlengan banyak dan berkaki banyak seperti lipan—yang tinggal di dalam gua. Nyi Blorong adalah pemberi kekayaan pada seseorang yang melakukan kontrak dengannya, dengan syarat orang tersebut menyediakan sebuah kamar untuk berhubungan dengan Nyi Blorong, dan setelah beberapa tahun orang tersebut harus mengorbankan manusia untuknya. Selain blorong, banyak makhluk halus yang berwujud binatang lainnya seperti buaya, katak, dan tikus (Boomgaard, Illicit…: 202-5).
Kedua, Binatang jadi-jadian. Kategori ini masih bisa digolongkan lagi menjadi: (1) orang yang sementara waktu menjadi hewan; (2) orang yang rohnya masuk secara temporer ke tubuh hewan ketika hewan tersebut tidur atau tidak sadar; (3) orang-orang yang jiwa/rohnya berubah menjadi atau masuk ke dalam binatang setelah meninggal, sebuah tema yang berkaitan dengan gagasan reinkarnasi.
Cerita mengenai binatang jadi-jadian berkaitan dengan orang-orang yang ingin menjadi kaya dengan memuja binatang, atau roh dalam bentuk binatang, yang kemudian mencuri untuknya. Alternatifnya, seseorang yang berubah bentuk menjadi binatang atau rohnya memasuki binatang, lalu melakukan pencurian. Kadang-kadang, setelah meninggal orang yang melakukan praktik ini akan berubah menjadi binatang. Binatang jadi-jadian yang paling banyak ditemukan adalah monyet, anjing, babi atau celeng (Boomgaard, Illicit…: 207).
Menurut Boomgaard, popularitas motif cerita-cerita ini merefleksikan suatu realitas ekonomi. Karangan Boomgaard tersebut berusaha mengaitkan perubahan dalam kepercayaan rakyat pada pembangunan ekonomi dalam tiga level abstraksi. Pada level terendah, karangan ini meneliti informasi tentang kepercayaan rakyat dari berbagai sumber. Melacak perkembangan dari sejumlah cerita antara 1850 dan 1990. Pada level menengah, karangan ini mengoreksi asumsi tertentu mengenai struktur dan perkembangan ekonomi orang-orang Jawa, yang tentunya memiliki konsekwensi pada interpretasi-interpretasi cerita rakyat yang ada sebagai refleksi dari ekonomi ini. Pada level tertinggi, tulisan ini mengambil isu dengan metodologi membandingkan cerita-cerita sebagai data statis dengan fenomena yang dinamis, misalnya penetrasi kapitalisme modern. Cerita-cerita itu, pada waktu tertentu, tidak merefleksikan level tahap perkembangan ekonomi sebagaimana dirasa orang-orang. Sebelum sebuah percobaan dibuat untuk menggunakan cerita-cerita tersebut sebagai bukti dari kepercayaan masyarakat, satu tema utama dari cerita itu harus dilepaskan dari variasi lokal dan temporalnya. Hanya dengan membandingakan variasi di dalam cerita rakyat dengan perubahan struktural dan siklis di lingkungan ekonomi, tiba pada suatu kesimpulan yang valid dan bermakna bisa diharapkan.
Motif roh anak-anak, sebagai contoh, bisa ditemukan di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Bagaimanapun, perubahan peran dari menthek dan pergeseran dari gundul ke tuyul tampaknya merefleksikan perubahan struktural dan siklis ekonomi sebagai pengalaman dan dirasakan orang-orang Jawa selama sekitar dua abad. Pemujaan ular memang merupakan motif yang sangat tua dan luas, tetapi mempelajari pembedaan (transseksual) akan sampai pada kesimpulan mengenai perubahan ekonomi (Boomgaard, Illicit…: 209-210).
Demikianlah Boomgaard menunjukkan bahwa cerita-cerita makhluk-makluk halus itu menjadi bagian dari porses sejarah masyarakat Jawa. Dari karangan itu kita bisa mengetahui suatu hal yang penting, bahwa ada paradoks pada sikap pribumi dalam menanggapi masuknya kapitalisme yang bersamaan dengan penjajah; mereka ingin kaya tetapi tidak mau disebut kaya, karena kekayaan itu tidak identik dengan pribumi dan yang dekat dengan kekuasaan. Dengan kata lain, mereka mau kaya tetapi tidak mau dianggap “bukan pribumi” atau Belanda kapitalis. Mereka tidak menyukai kapitalisme karena hadir bersama kolonialisme dan eksploitasi, tetapi merasa rugi kalau menolaknya. Oleh karena itu mereka menerima kapitalisme dengan setengah hati. Sebab itu mereka gemar menimbun dan menyembunyikan kekayaanya dan “menciptakan” tuyul untuk menjelaskan orang-orang yang kaya dengan cepat.
Di samping itu, kita juga bisa mengetahui bahwa cerita-cerita mengenai hantu tertentu atau mengalami perubahan ternyata berkaitan dengan perubahan di lingkungan perekonomian. Misalnya, cerita-cerita mengenai hantu-hantu pesugihan yang “berkelamin” perempuan, atau berganti kelamin menjadi perempuan, muncul ketika masa tanam paksa, ketika perempuan-perempuan keluar dari ranah domestiknya ke wilayah pekerjaan. Ketika masa depresi dan Perang Dunia Kedua, dimana kesempatan untuk menjadi kaya dengan cepat sangat sulit cerita tentang gundul mulai menghilang, dan digantikan oleh tuyul ketika perekonomi mulai tumbuh kembali. Ketika ketika Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi pada tahun 1960-an, di mana beras menjadi lebih penting daripada uang, menthek, yang pada cerita-cerita lama perupakan penghancur panen padi, berubah menjadi pencuri padi untuk majikannya.
Akan tetapi, makhluk-makhluk gaib dalam mitos-mitos masyarakat Jawa sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan ekonomi saja, melainkan juga dalam banyak hal lain, misalnya dengan kekuasaan. Yang disebut terakhir telah ditunjukkan dengan baik oleh Kuntowijoyo dalam karangannya Sumur Ajaib: Dominasi dan Budaya Tandingan di Surakarta Awal Abad XX dan—meskipun makhluk gaib bukan menjadi bahasan utama—John Pemberton dalam On the Subject of “Java”.
Sejarawan seharusnya tidak menilai makhluk gaib dan hal-hal gaib lainnya, seperti pulung, dari masuk akal atau tidaknya hal-hal itu, atau dari ada atau tidaknya dalam kenyataan empiris. Melainkan, hadir atau tidaknya hal-hal tersebut dalam mentalitas suatu masyarakat pada suatu waktu. Sejarah bukan soal masuk akal atau tidaknya sesuatu, tetapi menjadi bagian atau tidaknya sesuatu dalam masyarakat atau bagi masyarakat yang bersangkutan. Segaib apapun hal-hal tersebut, bisa ditulis sejarawan dengan meletakkannya pada suatu tempat dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar