Abu Nawas dan Cincin Permata
Suatu hari Abu Nawas mendapatkan hadiah berupa cincin berlian dari Sultan Harun al- Rasyid. Kepada para tetangganya, cincin itu selalu dipamerkan, bahkan ke mana pun ia pergi selalu dipakainya pada jari manis kanannya. Dari jauh cincin berlian itu tampak gemerlapan, sehingga menarik perhatian dan rasa kagum orang yang melihatnya.
Ketika Abu Nawas berjalan di depan rumah seorang saudagar permata, cincin itu memukau perhatian si saudagara. Belum pernah rasanya permata semacam itu dilihatnya. Harganya kira-kira sepuluh ribu dinar, taksirnya dalam hati.
“Hai Abu Nawas, singgahlah barang sebentar ke mari,” panggilnya dari depan pintu rumah.
Ketika Abu Nawas mendekat, saudagar itu segera menyongsongnya dengan wajah berseri-seri.
“Darimana engkau membeli cincin yang begitu bagus?” Tanya saudagar itu seraya mengamat-amati cincin permata di jari manis kanan Abu Nawas.
“Hadiah dari Baginda Sultan Harun al-Rasyid,” jawab Abu Nawas bangga.
Jawaban itu menguatkan dugaannya bahwa permata itu memang amat berharga dn bukan barang palsu.
“Aku bersedia membelinya dengan harga mahal,” bujuk saudagar itu.
Abu Nawas menggelengkan kepalanya.
“Siapa tahu cincin itu dirampas penjahat di jalan. Lebih baik kau jual saja, maka uangmu dapat kau belikan apa saja,” ujar saudagar itu menakut-nakuti. “Aku bersedia membayarmu tiga ribu dinar,” sambungnya.
Abu Nawas orang yang pandai, tak gampang terbujuk, apalagi tertipu. Ia tahu bahwa harga cincin itu kira-kira sepuluh ribu dinar. Tawaran itu didiamkannya saja. Dari saku bajunya dilkeluarkan sapu tangan, lalu digosoknya cincin itu dengan sapu tangan. Makin berkemilaulah berlian itu.
“Abu Nawas, dengarlah, modalku seluruhnya berjumlah empat ribu dinar. Baiklah seluruh uangku yang empat ribu dinar aku bayarkan kepadamu. Boleh, kan?” tawar saudagar itu.
“Mana boleh permata yang beini indah hanya ka hargai empat ribu dinar.” Sahut Abu Nawas hendak melangkah pergi.
“Tunggu dulu, Abu Nawas,” cegah saudagar itu. “jika aku punya uang lebih dari itu, akan kuberikan kepadamu semuanya. Barangkali dua-tiga hari lagi akan kubawakan engkau uang lima ribu dinar. Karena itu jangan kau jual cincinmu kepada orang lain.”
Abu Nawas hanya senyum-senyum saja, lalu pergi.
Cincin itu memang tak pernah lepas dari jari manis kanannya. Ketika tidur malam harinya pun cincin itu tetap tersunting di jari.
Malam itu Abu Nawas bermimpi. Dalam mimpi itu saudagar datang membawa uang lima ribu dinar, Melihat uang sebanyak itu abu Nawas tergiur. Tanpa pikir panjang diterimanya uang sebanyak itu, lalu diberikannya cincinnya. Begitu girang hatinya memiliki uang lima ribu dinar, lalu menari-nari, bahkan berjingkrak-jingkrak. Tangannya bertepuk-tepuk, kakinya menghentak-hentak, kepalanya bergoyang ke kiri ke kanan, pinggulnya meliuk-liuk sehingga keseimbangan badannya menjadi goyah. Tiba-tiba…,gedebuk! Abu Nawas terjatuh.
Ternyata ia terjungkal dari tempat tidur ke lantai. Ia terjaga, jidatnya terasa nyeri karena terantuk lantai. Ia tersadar dari mimpinya.
Yang pertama-tama dilakukannya ialah mengamat-amati cincin pada jari manis kanannya. “Oh, masih ada,” pikirnya. Ia merasa heran mengapa cincin itu masih tetap tersunting di jarinya, padahal uang pembayaran dari saudagar permata itu sudah diterimanya.
Esok harinya ia menceritakan mimpinya itu bukan saja kepada istrinya, tetapi juga kepada tetangga-tetangganya.Bahkan kepada semua orang yang berjumpa dengannya diceritakanlah perihal mimpinya itu. “Aku sudah menerima uang pembayaran sebanyak lima ribu dinar, tapi cincinku belum diamil oleh saudagar yang membelinya,” katanya dengan terheran-heran.
Mimpi Abu Nawas yang aneh itu segera beredar dari mulut ke mulut. Akhirnya saudagar permata itu pun mendengarnya. “Kalau begitu aku berhak mengambil cincin itu,” pikirnya. “Bukankah aku sudah membayarnya, bahkan Abu Nawas pun mengaku telah menerima uang pembayaran dariku,”
Saat itu juga ia berangkat menuju rumah Abu Nawas.
Dengan napas terengah-engah ia tiba di rumah Abu Nawas. “Abu Nawas,” ujarnya, “Mana cincin berlian yang sudah kubeli?”
“Eh,tapi…, sahut Abu Nawas tersendat.
“Jangan pura-pura lupa, Abu Nawas. Semalam aku sudah membayarmu lima ribu dinar, bukan?” kata saudagar itu sambil telunjuknya pada dada Abu Nawas.
“Ya, betul,” ujar Abu Nawas. Tapi ada dua hal yang masih harus kita sepakati. Pertama, harga lima ribu dinar itu masih terlalu murah. Genapilah jadi enam ribu dinar. Kedua, karena cincin permata itu pemberian Sultan Harun al Rasyid, serah terima cincin itu harus disaksikan pula oleh baginda. Dengan kesaksian baginda, engkaupun akan yakin bahwa cincin itu memang benar-benar pemberian Baginda,”
“Baiklah, aku tambah seribu dinar nanti, setelah Baginda mengakui cincin itu berasal pemberian baginda kepadamu,” sahut saudagar itu.
“aku berganti pakaian dulu, lantas kita berangkat bersama-sama ke istana,” kata Abu Nawas sambil masuk ke dalam kamar.
Dengan mengenakan pakaian yang paling bagus Abu Nawas menemui lagi saudagar itu. “Kita berangkat sekarang!’ ajaknya.
“Hai, mengapa jari manis kananmu kau balut dengan sapu tangan putih?” tanya saudagar seraya menunjuk jari manis kanan Abu Nawas. Jari itu tertebabt kain tebal.
Engkau memperingatkan aku kemarin agar aku berhati-hati karena penjahat yang melihat permata ini mungkin akan merampasnya,” kata Abu Nawas.
“Betul, betul,” kata saudagar itu membenarkannya. Keduanya bergegas berangkat ke istana.
Sementara itu, Sultan Harun al-Rasyid ketika itu baru saja memasuki balairung ketika kedua orang itu tiba di istana.
Baginda menunda acara perbincangan dengan para pejabat tinggi, lalu memanggil Abu Nawas dan saudagar itu agar menghadap.
“Baginda, kami bersama saudagar permata ini menghadap baginda karena ada sesusatu hal yang hendak kami sampaikan. Cincin permata hadiah dari baginda beberapa hari yang lalu kepada saya akan saya jual kepada saudagar permata ini,” kata Abu Nawas.
“Mengapa hendak kau jual?” tanya sultan dengan nada marah.
“Itu hak saya, Baginda,” jawab Abu Nawasukankah cincin ini yang elah baginda berikan sebagai hadiah kepada saya?”
Sultan terkejut melihat cincin yang tersunting di jari Abu Nawas. Lebih-lebih saudagar itu. Matanya terbelalak dan mukanya pucat seketika. Betapa tidak, cincin yang tersunting di jari manis Abu Nawas terbuat dari dari temba, sedangkan permatanya tidak bekilau sama sekali karena hanya pecahan gelas belaka.
“bukan itu yang hendak saya beli,” seru saudagar itu, “tapi cincin permata berlian pemberian baginda.”
“Inilah cincin hadiah dari Baginda itu,” kata Abu Nawas, “Kalau tidak percaya, mohonlah kesaksian Baginda.”
Dalam hati sultan tersenyum. “Macam-macam saja akal Abu Nawas,” pikirnya.
“Betulkah cincin tembaga bermata pecahan kaca itu hadiah dari Baginda kepada Abu Nawas?” sembah saudagar itu.
“Betul,” jawab Sultan. “Memang itulah cincin pemberianku.”
Saudagar itu gemetar.
“Nah, bayarlah sekarang seribu dinar seperti kesanggupanmu tadi,” kata Abu Nawas.
“Tapi…!!!???”
“Engkau harus membayar seribu dinar kepada Abu Nawa,” tukas baginda memerintahkan sauadagar itu membayarnya.
Saudagar itu terpaksa mengeluarkan uang seribu dinar. Tanpa berkata sesuatu diberikannya uang itu kpada Abu Nawas, lalu melangkah pergi.
“Hai, tunggu dulu,” seru Abu Nawas, “ini cincin permata yang sudah kau beli!”
Saudagar itu tak mau menoleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar